Foto oleh Caspar Rubin dari Unsplash
Mohammad Khoirul Huda

Hilang

Hilang
Salah satu karya di Jakarta Biennale 2016 (dok. pribadi)

Sebuah ruangan dengan pemandangan barisan kata-kata. Ketika semua sudah berbaris dengan rapi, salah satu barisan di pojok belakang masih belum rapi. Mereka terlibat berbincangan yang semakin lama terdengar seru.

“Kamu kurang merapat.” Sebuah kata berbicara kepada temannya.

“Tidak, posisiku sudah benar, aku harusnya di sini.” Balas temannya.

“Tapi jarak kita terlalu jauh, kenapa ya? Ah, sepertinya ada yang       !” Nadanya mulai meninggi.

“Hah?       ?”

“Aduh bagaimana ini?” Kata lainnya mulai panik.

Ruang tulis menjadi gaduh. Barisan kata-kata yang sudah rapi berubah tak beraturan. Mereka saling berbicara satu sama lain, mencari teman mereka yang tiba-tiba meng      .

“Jika dia       , maka aku sudah tidak bisa mengungkapkan suatu konsep pikiran secara utuh,” kalimat berbicara.

“Tapi barisan kami masih bisa menjelaskan hal lain tanpa perlu menggunakan peran dia sebagai bagian dari kami,” kalimat lainnya bersuara.

“Iya benar, barisan kami juga bisa membantu. Kita masih bisa membuat barisan lainnya, bukankah kita adalah kesatuan bahasa yang relatif berdiri sendiri,” ujar kalimat di sebelahnya lagi.

“Tapi, bukankah peran dia sangat vital, sebagai gagasan pokok. Jika kita meng      kan peran dia, mungkin aku hanya akan menjadi sebuah bab tanpa romawi, kumpulan kalimat yang membingungkan,” tiba-tiba paragraf memotong pembicaraan.

“Puncaknya, yang paling disalahkan adalah aku,” cerita mulai bersuara.

“Orang-orang akan menganggapku sampah. Aku bisa dianggap cerita bohong, atau bahkan aku bisa saja terancam dipidana!”

“Aduh bagaimana ini? Aku tak mau masuk penjara!” Sebuah kata berteriak dan diamini oleh kata lainnya.

“Tenang, harap tenang!” Sebuah sinonim mulai menengahi.

“Jika ada salah satu dari kalian yang       , kalian bisa mencari pengganti yang mirip dengan teman kalian yang itu.”

“Aku bisa menggantikan kata       !”

Tiba-tiba muncul sebuah kata baru dan semua terdiam.

“Sudah pakai dia saja!”

“Iya benar, daripada masuk penjara!”

Mereka pun berbaris rapi membentuk sebuah kalimat utuh, paragraf yang lengkap dan menjadi sebuah cerita (baru).

Kata itu adalah musnah. Dia datang dengan senyum tenang. Tangannya di belakang, gemetaran dengan sisa darah segar yang masih kelihatan.

Ketika mereka yang menghilang, sebenarnya kita tidak pernah tahu apa jangan-jangan mereka itu telah dimusnahkan (?).